Reformasi Kelembagaan dan Pengawasan Eksternal Kepolisian

PSHK merilis policy brief berjudul Reformasi Kelembagaan dan Pengawasan Eksternal Kepolisian, 16 Desember 2025.

Jakarta, 16 Desember 2025 – Salah satu perubahan mendasar yang terjadi pada masa reformasi adalah pemisahan antara institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal itu terjadi pada Agustus 2000 melalui penetapan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VI/MPR/2000. Salah satu pertimbangan pemisahan itu, yang tercantum dalam pertimbangan dasar menimbang huruf d TAP MPR, adalah keberadaan dwifungsi ABRI (TNI dan Polri) yang mengakibatkan tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Namun setelah 25 tahun berlalu, cita-cita yang didambakan dari pemisahan TNI dan Polri belum tercapai, bahkan Polri saat ini dinilai lebih tepat disebut sebagai alat kekuasaan dibanding alat negara. Berbagai kajian mendalami akar masalahnya, mulai dari permasalahan dalam budaya militerisme yang tidak berhasil dihilangkan dari tubuh Polri, tugas dan kewenangan yang tidak berhasil dibatasi sehingga mudah untuk melakukan sewenang-wenang, sampai kepada permasalahan kelembagaan baik internal maupun interaksinya dengan lembaga lain dalam mewujudkan hubungan kelembagaan yang mampu saling kontrol dan saling mengimbangi.

Muhammad Isnur (YLBHI), Fajri Nursyamsi (PSHK Indonesia), Asfinawati (STHI Jentera), Bugivina Maharani (PSHK Indonesia), saat peluncuran policy brief “Reformasi Kelembagaan dan Pengawasan Eksternal Kepolisian”, Jakarta, 16 Desember 2025. Foto: RFP/Dania Joedo

Kajian ini fokus untuk mencari akar masalah dari aspek kelembagaan, khususnya dalam tiga aspek, yaitu:

  1. Pembatasan fungsi Polri sesuai dengan UUD 1945;
  2. Pembatasan tugas dan wewenang Polri dalam pelayanan publik; serta
  3. Penguatan pengawasan eksternal Polri.

Fungsi Polri dalam UUD 1945 sudah sangat dibatasi, yaitu dalam rumusan Pasal 24 ayat 3 dan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945. Pasal 24 ayat 3 mengatur perihal badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman, yang salah satunya adalah Polri, yang diberikan fungsi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Sedangkan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 memfokuskan pada fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua fungsi itu, ditambah penguatan penggunaan prinsip-prinsip dalam konsep pemolisian demokratis, sudah dapat dijadikan sebagai dasar reformasi kelembagaan Polri, termasuk membatasi tugas dan kewenangan Polri.

Permasalahan mendasar dalam aspek yuridis terdapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri (UU 2/2002) yang mengatur fungsi Polri menjadi berlipat ganda, dan masing-masing fungsi memiliki tugas dan kewenangan tersendiri. Permasalahan semakin mendalam ketika rumusan tugas dan kewenangan Polri dalam UU 2/2002 dibuat terbuka tanpa batasan. Hal itu yang menjadikan Polri saat ini memiliki tugas dan kewenangan pelayanan publik di luar fungsi keamanan, ketertiban, penyelidikan, dan penyidikan, tetapi juga mencakup tugas dan kewenangan pelayanan publik kependudukan, lalu lintas, politik, fiskal, dan bidang lain yang tidak relevan dengan fungsinya.

Versi cetak policy brief “Reformasi Kelembagaan dan Pengawasan Eksternal Kepolisian” pada saat acara peluncuran di PSHK Indonesia, 16 Desember 2025. Foto: RFP/Dania Joedo

Riset ini menemukan ada 58 ketentuan dalam UU yang masih berlaku saat ini, yang mengatur tugas dan kewenangan Polri di luar fungsinya. Dalam kondisi fungsi, tugas, dan kewenangan yang melebar, Polri justru tidak dilengkapi dengan mekanisme pengawasan eksternal yang kuat. Hal ini yang membuat pelaksanaan fungsinya menjadi sewenang-wenang. Polri seolah tidak memiliki mekanisme pengawasan eksternal yang mampu mengimbangi dan mengontrol setiap tugas dan kewenangan yang dilaksanakan.

Pengawasan eksternal Polri perlu kuat dalam mengawasi empat hal, yaitu:

  1. Penegakan kode etik polisi;
  2. Pelaksanaan kebijakan internal termasuk tata kelola organisasi, kepegawaian, dan penganggaran;
  3. Pelaksanaan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat; serta
  4. Pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan.

Dalam hal pengawasan terhadap penegakkan kode etik polisi, perlu ada lembaga pengawas eksternal Polri yang independen dan non struktural yang dilengkapi dengan kewenangan pemeriksaan dan penjatuhan hukuman yang pelaksanaannya diperintahkan kepada Kepala Polri. Dalam pengawasan terhadap kebijakan internal, perlu ada Kementerian atau Lembaga yang mampu mengawasi dan berkoordinasi atas nama Presiden, jika ada yang perlu dikoreksi atau bahkan sampai pengusulan sanksi berdasarkan UU.

Dalam hal pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat, perlu ada Kementerian atau Lembaga yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang keamanan dan ketertiban untuk saling mengawasi dan berkoordinasi dengan Polri dalam pelaksanaannya, termasuk dalam aspek pelaksanaan berbasis HAM dan menjunjung tinggi demokrasi. Sedangkan untuk pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyidikan dilaksanakan dalam kerangka hukum acara pidana dengan membangun mekanisme saling mengawasi antar lembaga penegak hukum, yaitu Polri, Kejaksaan, dan MA.

Ketiga perbaikan kelembagaan tersebut perlu dilaksanakan untuk menuntaskan reformasi 25 tahun lalu. Selain itu, reformasi kelembagaan Polri juga penting untuk menguatkan akuntabilitas Polri dalam menjalankan fungsinya secara fokus. Dengan begitu, amanat UUD 1945 yang menempatkan Polri sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan, dapat tercapai.


PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan) Indonesia adalah sebuah lembaga penelitian dan advokasi independen yang didirikan tahun 1998 dengan tujuan mewujudkan pembentukan hukum yang bertanggung jawab secara sosial melalui riset dan advokasi di bidang legislasi.

Berita Terkait