RFP mendesak pencabutan Perkapolri 4/2025 dan mengevaluasi 9 masalah fundamental kepolisian.
Jakarta, 2 Oktober 2025 – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian (RFP) memandang komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan reformasi dalam tubuh kepolisian hanya akan jadi sebatas rencana semu. Pada saat yang sama, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Listyo Sigit Purnomo baru-baru ini mengeluarkan Surat Perintah (Sprin) pembentukan tim transformasi reformasi Polri di internalnya dengan nama Tim Transformasi Reformasi Polri, berisi 52 Perwira Polri.
Hal ini menjadi semacam pembangkangan yang dilakukan oleh internal kepolisian dengan membentuk tim tandingan yang patut dipertanyakan kaitannya dengan tim bentukan presiden mengingat sampai dengan hari ini tidak ada kejelasan mengenai tim reformasi versi Prabowo. Pembangkangan tidak hanya berhenti di situ, pada 29 September 2025 Polri resmi menerbitkan kebijakan internal berupa Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri. Menanggapi hal tersebut, Koalisi RFP menilai:
Pertama, praktik pembentukan aturan internal seperti Peraturan Kapolri (Perkap) dan Peraturan Polri (Perpol) dalam institusi kepolisian selama ini banyak mengatur ketentuan yang seharusnya berada dalam domain undang-undang seperti tindakan-tindakan yang membatasi HAM, yang semakin membuka ruang pelanggaran hukum dan penyalahgunaan kewenangan. Pelanggaran dalam konteks penyusunan peraturan tersebut juga selama ini tidak pernah dikoreksi, sehingga praktik penyalahgunaan ini terus berlanjut, termasuk hingga penerbitan Perkap 4/2025.
Kedua, Perkap 4/2025 mengatur tindakan-tindakan kepolisian yang bertabrakan dengan hukum acara pidana yang diatur dalam level undang-undang (KUHAP), dalam Perkap ini Polisi bisa melakukan upaya paksa berupa penangkapan, pemeriksaan, penggeledahan hingga penyitaan tanpa izin dari pengadilan dengan dalih “pengamanan barang/benda” khususnya terhadap massa aksi demonstrasi. Namun konstruksi pengaturan dalam Perkap 4/2025 yang ambigu dalam mengatur kewenangan tersebut membuat penggunaannya dimungkinkan menjadi melebar di luar konteks tertangkap tangan yang sudah diatur dalam KUHAP. Peraturan ini sewenang-wenang dan bertabrakan dengan prinsip perlindungan hak atas proses hukum yang adil dan prosedural.
Ketiga, Perkap tersebut juga menjustifikasi penggunaan senjata api yang berlebihan oleh anggota Polri. Sebelumnya, penggunaan senjata api diatur dalam Perkap No. 1 Tahun 2009 yang mengedepankan prinsip nesesitas, proporsionalitas, dan kewajaran, termasuk pengaturan dalam Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi prinsip HAM dalam Kerja Kepolisian. Semestinya, penggunaan senjata api merupakan tahapan terakhir sebagai upaya mencegah tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Sedangkan, dalam Perkap 4/2025 terdapat ketidakjelasan penggunaan senjata api tersebut yang menjadi tidak hanya terbatas pada situasi-situasi fatal.

Dalam praktik penggunaan senjata api, KontraS mencatat bahwa menambah kewenangan penggunaan senjata api tidak menjamin keamanan masyarakat, justru meningkatkan risiko kekerasan berlebihan dan kemungkinan terjadinya pembunuhan di luar hukum (extra judicial killing). Data KontraS menunjukkan sebanyak 463 kejadian penggunaan senjata api oleh Polri selama Juli 2021 hingga Juni 2022, mengakibatkan 680 korban dengan 40 diantaranya meninggal dunia. Sepanjang tahun 2019 – 2024, YLBHI mendata sekitar 35 peristiwa penembakan aparat kepolisian dengan jumlah korban tewas 94 orang.
Kami menegaskan bahwa upaya memperluas kewenangan polisi dengan membatasi HAM melalui tindakan-tindakan upaya paksa hingga penggunaan kekuatan yang berlebihan melalui aturan internal lembaga Polri ini adalah keliru karena tidak sesuai dan justru berkebalikan dengan komitmen gerakan reformasi Polri dan semakin mengancam perlindungan hak asasi manusia dan supremasi hukum, serta hanya semakin mendorong maraknya kekerasan dan kesewenang-wenangan aparat terhadap warga sipil.
Oleh karena itu, kami mendesak agar:
- Kapolri segera mencabut Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2025 tentang Penindakan Aksi Penyerangan terhadap Polri;
- Kepolisian untuk menghentikan praktik pembentukan aturan internal kepolisian yang bermasalah yang melampaui materi muatan yang seharusnya berada dalam domain undang-undang dan melegitimasi tindakan-tindakan yang membatasi HAM;
- Presiden segera membuktikan komitmennya untuk mereformasi kepolisian dengan mengevaluasi secara menyeluruh setidaknya 9 masalah fundamental, sistemik, dan struktural kepolisian yang menjadi catatan Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian.





