YLBHI mendesak Presiden dan DPR RI melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik kekerasan dan pelanggaran HAM oleh institusi kepolisian serta penyimpangan peran kepolisian sebagai alat pemodal dan kekuasaan
Jakarta, 01 Juli 2025 – YLBHI mengucapkan selamat ulang tahun untuk Polri ke 79 dan akan terus mendorong perbaikan dan reformasi Kepolisian RI agar profesional yang memegang teguh konstitusi sebagai alat negara yang menjamin secara penuh prinsip negara hukum yang demokratis, serta menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (hak konstitusional warga negara) bukan justru menjadi alat kekuasaan dan modal.
Pada ulang tahun ke-79 ini, Polri mengambil tema “Polri bersama Rakyat”. Divisi Humas Polri menyebarkan iklan layanan masyarakat dengan menggunakan bantuan artificial intelligence (AI) menggambarkan seorang polisi bersayap membantu masyarakat. Di dalam video tersebut Polri menyatakan bahwa “Polisi adalah sosok pahlawan masa kini. Tanpa jubah, tanpa sorotan mereka berdiri di garda terdepan, melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan marabahaya.” Jika disandingkan dengan realitas keseharian, gambaran tersebut ironi karena faktanya kepolisian acapkali justru bersama dengan penguasa dan pemodal menjadi aktor yang melanggar hak-hak rakyat.
YLBHI mencatat bahwa Polisi masih menjadi alat represi bagi masyarakat untuk kepentingan elit politik dan pemilik modal dalam melancarkan berbagai macam agenda investasi yang dibalut dengan kata “investasi“ dan “pembangunan”. Di Hari Bhayangkara 2025 ini, YLBHI memotret hal tersebut dengan melihat berbagai kasus malicious investigation/upaya kriminalisasi yang didampingi dan ditangani oleh 18 LBH kantor di seluruh Indonesia.
Dalam rentang tahun 2019 – Mei 2025, setidaknya terdapat 154 kasus dengan 1097 korban kriminalisasi di berbagai sektor. Sebagian besar kriminalisasi menimpa rakyat ketika mereka tengah melakukan demonstrasi. Mulai dari mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan lahan, mengkritik kebijakan nasional, hingga menuntut dipenuhinya hak normatif buruh. Sebagian lainnya kriminalisasi terhadap kritik kebijakan yang dilakukan dengan menggunakan kanal media sosial dengan penerapan pasal-pasal yang sering digunakan adalah 170 KUHP (31 kasus), 55 Ayat 1 KUHP, 160 KUHP, 406 ayat 1 KUHP, dan 27 ayat 3 UU ITE.
Kasus-kasus kriminalisasi ini tersebar menyasar petani, mahasiswa, buruh, akademisi, hingga jurnalis/wartawan. Dilihat dari persentase pengelompokan isu, kriminalisasi terhadap warga yang berjuang dalam konflik agraria berada pada posisi pertama yaitu 61 kasus, kemudian diikuti dengan 41 kasus kriminalisasi terhadap demonstrasi kebijakan. Adapun lima kasus teratas dapat dilihat melalui diagram di bawah ini.
Dalam kasus-kasus kriminalisasi tersebut setidaknya kami melihat 4 pola yang kerap berulang, yaitu:
- Praktik kekerasan dan penyiksaan. Setidaknya terdapat pola kekerasan fisik dan psikis yang menimpa korban kriminalisasi. Korban penangkapan dipukuli terlebih dahulu, kemudian dalam proses pemeriksaan polisi sering mengulur-ulur waktu dan melakukan pemeriksaan dengan kondisi korban yang sakit sampai dengan larut malam;
- Penggunaan kekuatan yang berlebihan. Praktik kekerasan terus terjadi karena kepolisian acapkali menggunakan kekuatan yang berlebih yang tidak proporsional dan sebanding dengan situasi yang dihadapi. Budaya kekerasan dan militerisme masih melekat kuat di institusi kepolisian;
- Penghalang-halangan akses bantuan hukum. Dalam banyak kasus pendampingan, polisi justru menghalang-halangi korban kriminalisasi untuk dapat mengakses atau memilih sendiri pendamping hukumnya;
- Tes urine ilegal. Dalam aksi-aksi massa atau demonstrasi, mereka yang ditangkap tak jarang dipaksa untuk melakukan tes urine. Ini tidak sesuai dengan prinsip lex administratum dalam KUHAP dan UU Narkotika 2009;
- Kampanye negatif. Untuk membenarkan kriminalisasi, polisi sering dengan menggunakan sarana konferensi pers menyebarkan kampanye hitam (stigma, mendiskreditkan) terhadap mereka yang ditangkap sebagai “penyusup”, “anarko”, dan “perusuh”.
Repetisi praktik kekerasan dan kriminalisasi mengakar di tubuh kepolisian disebabkan minimnya penegakan hukum yang transparan dan akuntabel minus pengawasan meski kewenangan kepolisian begitu besar. Kondisi ini diperparah dengan hukum acara pidana (KUHAP) yang mendasari polisi bekerja sudah usang yang masih membuka celah diskresi yang besar yang rentan penyalahgunaan wewenang yang tidak sesuai dengan prinsip negara hukum dan demokrasi serta gagal menjamin perlindungan hak asasi manusia.
Pada titik ini alih-alih mengevaluasi problem internal kelembagaannya agar akuntabel dengan memperkuat transparansi dan pengawasan, polisi hari ini justru sibuk mempercanggih alutsista sebagaimana yang ditunjukkan dalam gladi bersih HUT Bhayangkara 79 dengan mempertontonkan robot humanoid dan juga anjing pemburu. Perbelanjaan ini tidak menjawab masalah mendasar kepolisian. Selain menyedot anggaran publik langkah tersebut justru semakin memperkokoh watak militeristik kepolisian dan menjadi ancaman kebebasan publik.
Berkenaan dengan situasi diatas LBH-YLBHI bersikap:
- Mendesak Presiden dan DPR RI melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik kekerasan dan pelanggaran HAM oleh institusi kepolisian serta penyimpangan peran kepolisian sebagai alat pemodal dan kekuasaan;
- Mendorong reformasi KUHAP untuk penguatan kontrol terhadap kewenangan kepolisian, transparansi dan akuntabilitas serta memperkuat checks and balances dalam sistem penegakan hukum pidana terpadu;
- Evaluasi sistem penerimaan anggaran Polri dan penggunaan belanja perlengkapan senjata kepolisian;
- Mendesak pembaruan sistem pertanggungjawaban hukum terhadap anggota Polri yang terlibat kekerasan dan kriminalisasi secara etik dan pidana agar imparsial dan akuntabel;
- Melakukan evaluasi atau audit menyeluruh terhadap kelembagaan, kewenangan maupun pengelolaan anggaran yang justru menghasilkan kegagalan substantif reformasi institusi kepolisian dan menjadikan Kepolisian lembaga negara superbody yang mengancam demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia;
- Memperkuat mekanisme pengawasan kepolisian RI baik internal dan eksternal untuk mendorong profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas kepolisian;
- Membatasi kewenangan dan pendanaan polisi yang begitu besar tapi minim pengawasan maupun transparansi dan akuntabilitas agar kepolisian tidak justru menjadi lembaga yang koruptif dan aktif melakukan abuse of power.
YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) adalah sebuah organisasi yang menyediakan bantuan hukum gratis bagi masyarakat miskin dan rentan, memperjuangkan tegaknya hukum, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, serta berfungsi sebagai payung hukum bagi LBH-LBH di berbagai daerah di Indonesia.




