Jakarta, 6 November 2025 – Kepolisian merupakan institusi negara yang berperan penting sebagai penjaga gerbang (gatekeeper) sistem peradilan pidana dengan mandat utama melayani dan melindungi. Kepolisian diharapkan tidak hanya menanggulangi, tetapi juga dapat mencegah kejahatan dan dalam menjalankan mandatnya diberikan kewenangan mengunakan upaya paksa dan kekerasan, selain dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka, korban dan saksi dari suatu peristiwa kejahatan.
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul gerakan “no viral, no justice”, yakni inisiatif masyarakat untuk mengunggah layanan publik yang dianggap tidak mencerminkan mandat utama dan lahir dari berbagai temuan kasus. Layanan kepolisian tidak lepas dari sorotan gerakan ini. Beberapa kasus yang mencuat, seperti tragedi Kanjuruhan, praktik judi daring, dan kasus Djakarta Warehouse Project (DWP) menjadi perhatian publik luas karena
tersebar melalui media sosial. Fenomena ini sekaligus mencerminkan rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian—sebuah kondisi yang perlu segera diperbaiki.
Hal ini pulalah yang menjadi latar belakang mengapa kriminologi kritis semakin menguat. Richard Quinney, di dalam bukunya The Social Reality of Crime (1970) dan Critique of Legal Order: Crime Control in Capitalist Society (1974) adalah satu dari banyak kriminolog yang memberikan kritik keras terhadap bagaimana bekerjanya sistem peradilan pidana, termasuk kepolisian. Kritik utama para kriminolog kritis adalah mengungkap bahwa kepolisian bekerja hanya sebagai alat kekuasaan politik dan ekonomi.
Hingga saat ini, perhatian kriminologi terhadap bekerjanya kepolisian sangatlah besar. Tidak hanya dari sisi kriminologi administratif yang membahas bagaimana strategi pemolisian idealnya dilakukan dalam konteks pengendalian sosial kejahatan, tetapi juga pada sisi penguatan mekanisme pengendalian terhadap pemolisian itu sendiri.
Perkembangan dalam 10 tahun terakhir di Amerika Serikat membuktikan ini. Selain adanya indikasi rasisme, kepolisian bekerja lebih mengedepankan kekerasan. Puncaknya adalah peristiwa terbunuhnya George Floyd akibat kekerasan anggota kepolisian Minneapolis tahun 2020 lalu yang berkibat munculnya gelombang protes keras terhadap kinerja kepolisian.
Pengalaman Indonesia tidak kalah menarik untuk dijadikan perhatian. Banyak penelitian hingga ‘jurnalisme warga’ membuktikan masih banyak terjadinya penyimpangan hingga kekerasan oleh anggota kepolisian. Kejadian Kanjuruhan di Malang tahun 2022 lalu, yang berakibat meninggalnya 135 orang pendukung sepak bola, tidak hanya disebabkan oleh kondisi stadion yang relatif tidak memadai, tetapi juga berkaitan dengan bagaimana aparat kepolisian menangani massa.
Pengawasan terhadap kepolisian karenanya menjadi sangat penting. Kewenangan kepolisian yang relatif besar, di dalam pengendalian sosial termasuk penegakan hukum mengharuskan akuntabilitas. Kepolisian memiliki kewenangan di dalam menggunakan kekerasan, menangkap dan menahan di dalam dalam konteks penyelidikan dan penyidikan. Bila kewenangan ini minim pengawasan, maka penyalahgunaan
kewenangan, penyimpangan, hingga kekerasan sangat mungkin terjadi dengan mudah.
Penulis:
Ni Made Martini Puteri
Kisnu Widagso
Reni Kartikawati
Natasya Hana Rumondang
Choky R. Ramadhan
Bestha Inatsan
PUSKAKRIM UI (Pusat Kajian Kriminologi) adalah penyelenggara kegiatan penelitian, pelatihan, dan pengabdian masyarakat dalam bidang Kriminologi yang berada di bawah payung Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sosial dan Politik (LPPSP) FISIP UI.




