TAUD mendesak Kapolda Metro Jaya menghentikan proses pemeriksaan ilegal dan membebaskan 13 orang yang masih ditahan serta mengevaluasi penanganan aksi secara menyeluruh dan memberikan sanksi bagi pelanggar hukum.
Jakarta, 2 Mei 2025 – Aparat kepolisian melakukan tindakan represif dan brutal serta upaya paksa sewenang-wenang pada massa aksi perayaan Hari Buruh Internasional tahun 2025 di Jakarta. Terdapat serangkaian tindakan Aparat Kepolisian yang merupakan bentuk tindak kejahatan, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, pengabaian Kode Etik Profesi, dan prinsip-prinsip HAM internasional.
Massa aksi yang tergabung dalam Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR sejak pukul 09:00 WIB dalam perayaan Hari Buruh Internasional 2025. Dalam momen ini, peserta aksi menuntut pemerintah dan DPR untuk melindungi hak-hak buruh/pekerja dan jaminan kesejahteraan serta kebijakan yang tidak diskriminatif. Berdasarkan pemantauan dan pendampingan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), kami mencatat beberapa fakta tindakan pelanggaran hukum aparat keamanan pada aksi massa tersebut:
- Aparat Kepolisian Menabrak Hukum dan Bertindak Represif serta Brutal pada Massa Aksi ketika Aksi Masih Berlangsung
a. Aparat kepolisian menghadang, menggeledah perangkat aksi dan barang pribadi mahasiswa yang melakukan aksi di depan Gedung DPR pada sekitar pukul 08:20 WIB. Bahkan terdapat mahasiswa yang dituduh sebagai kelompok anarko tanpa dasar yang jelas. Tindakan tersebut telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan menunjukkan pelanggaran serius terhadap hak menyampaikan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
b. Aparat kepolisian melakukan penganiayaan kepada paramedis yang sedang berjaga di posko medis. Kami menemukan bahwa 4 orang dari 14 massa aksi yang ditangkap adalah tim medis dan sedang menjalankan tugas untuk melaksanakan bantuan medis. Tim medis ini mendapat penganiayaan berupa pemukulan pada bagian kepala dan leher.
c. Aparat kepolisian secara brutal melakukan penyerangan terhadap massa aksi. Kami menemukan 3 orang massa aksi yang mengalami luka bocor di kepala akibat kekerasan fisik. Sebanyak 13 dari 14 orang massa aksi yang ditangkap mengalami luka luar dan lebam di sekujur tubuh.
d. Aparat kepolisian menutup fasilitas umum dengan memasang kawat berduri di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), yang seharusnya menjadi akses publik.
e. Aksi dibubarkan tanpa peringatan hukum yang sah sekitar pukul 17:00 WIB. Penangkapan disertai kekerasan dilakukan saat aksi dan hiburan musik masih berlangsung dengan penggunaan water canon dan gas air mata.
f. Kekerasan dilakukan terhadap jurnalis serta penghalangan kerja jurnalistik yang melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
g. Tindakan kekerasan seksual, baik fisik maupun non-fisik, dilakukan terhadap seorang peserta aksi perempuan. Ini melanggar UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
h. Aparat tidak berseragam resmi, tidak menunjukkan identitas, dan menggunakan pakaian seperti massa aksi. - Aparat Kepolisian Menghalang-halangi Akses Bantuan Hukum pada Massa Aksi
a. Akses informasi terkait nama-nama yang ditangkap baru diberikan pukul 21:00 WIB.
b. Pengacara TAUD diminta menyerahkan ponsel kerja tanpa alasan yang sah.
c. Ponsel peserta aksi disita, menghalangi mereka untuk menghubungi keluarga dan kuasa hukum. Ini melanggar Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Pasal 60 KUHAP. - Pelanggaran Hukum oleh Aparat Kepolisian dalam Proses Pemeriksaan Massa Aksi
a. Tes urin dilakukan secara paksa, bahkan sebelum ada pendampingan hukum. Data pribadi seperti sidik jari dan email juga diminta tanpa dasar.
b. Pemeriksaan dilakukan dengan “berita acara klarifikasi/investigasi/interogasi” yang tidak dikenal dalam KUHAP.
c. Pemeriksaan berlangsung hingga dini hari (pukul 05.00 WIB), terhadap korban dengan luka berat dan dalam kondisi kelelahan.
d. Pemeriksaan terhadap korban dilanjutkan tanpa penasihat hukum meskipun dokter sudah meminta korban untuk beristirahat.
e. Polisi menunda akses ke rumah sakit dan baru mengizinkan setelah perdebatan panjang. Hal ini memperburuk kondisi korban.
Serangkaian tindakan di atas mengancam kebebasan sipil dan melanggar UU Nomor 9 Tahun 1998, KUHAP, UU HAM, UU Narkotika, UU Perlindungan Data Pribadi, dan Perkap Nomor 8 Tahun 2009.
Kami berpandangan bahwa:
- Seluruh proses penangkapan dan pemeriksaan tidak sah secara hukum dan administratif, dan harus dibatalkan demi hukum.
- Tindakan kepolisian tersebut merendahkan martabat manusia dan merupakan pelanggaran HAM.
- Tindakan penghalangan jurnalis, kekerasan terhadap tim medis, blokade JPO, dan pembubaran paksa merupakan bentuk pemberangusan kebebasan berekspresi.
Berdasarkan hal-hal tersebut, kami mendesak:
- Kapolda Metro Jaya menghentikan proses pemeriksaan ilegal dan membebaskan 13 orang yang masih ditahan.
- Komisi Kepolisian Nasional menginvestigasi tindakan tidak profesional Polda Metro Jaya.
- Divisi Propam Polda Metro Jaya menindak pelanggaran disiplin dan profesi aparat.
- Komnas HAM menginvestigasi pelanggaran HAM dalam aksi May Day 2025.
- Komnas Perempuan menginvestigasi kekerasan berbasis gender dalam penanganan massa aksi.
- Kapolri mengevaluasi penanganan aksi secara menyeluruh dan memberikan sanksi bagi pelanggar hukum.
TAUD (Tim Advokasi Untuk Demokrasi) adalah koalisi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak sipil dan demokrasi dengan melakukan advokasi hukum, mendampingi korban, mengkritik kebijakan publik, dan mendesak pertanggungjawaban dari pihak berwenang,




